Jakarta - Bubarnya Front Pembela Islam (FPI) secara de jure maupun de facto tidak menjamin bahwa aktivitas FPI dan simpatisannya akan serta-merta berhenti. FPI secara de jure dianggap bubar sebagai organisasi masyarakat terhitung per tanggal 21 Juni 2019.
Bahkan, sampai saat ini, FPI tidak kunjung memperpanjang SKT Kemendagri. Kendati demikian, para anggotanya tetap melakukan berbagai aktivitas dengan tanpa landasan hukum. Pemerintah akhirnya melarang berbagai aktivitas dan penggunaan atribut FPI secara de facto pada Rabu 30 Desember 2020.
Paham FPI yang cenderung mengarah pada intoleransi dan bahkan terorisme sangat mungkin bertransformasi setelah bubarnya FPI sebagai ormas. Perubahan bentuk berbagai aktivitas maupun atribut FPI bisa terjadi dalam bentuk yang sangat mendasar dalam aktivitas masyarakat. Akan tetapi, substansi paham FPI yang intoleran dan cenderung mengarah pada terorisme tetap tidak akan berubah. Hal ini yang perlu menjadi waspada kita bersama. Demi menjaga keberagaman Indonesia yang harmonis dan toleran serta keamanan dan stabilitas negara. Waspada terhadap bentuk baru radikalisme pasca pembubaran FPI.
Lahirmnya Front Persatuan Islam pada (30 /12/20) sebagai metamorfosa dari Front Pembela Islam oleh Ketua umum FPI Sabri dan Sekretaris FPI Munarman yang notbene adalah orang yang dulunya terlibat dalam FPI adalah sebuah bentuk perlawanan terang terangan organisasi terlarang dengan pemerintah, bila dibiarkan hal ini menunjukkan betapa rentan pemerintah, dan semakin menguatkan organisasi organisasi lain seperti OPM bahkan GAM, dan bukan hal yang mustahil kalau kelompok kelompok ini akan hidup kembali bahkan lebih banyak. Walaupun dengan dalih sebagai perkumpulan atau ormas non senjata tetap saja, ini akan mengganggu eksistensi pemerintah yang berdaulat.
Pengamat Komonikasi dari Universitas Prof Dr Moestopo Dr Bayquni menyatakan bahwa bila kita menggunakan teori komunikasi organisasi, kita mengenal teori Interaksi simbolik dimana teori ini menyatakan bahwa Teori interaksi simbolik berangkat dari pemikiran bahwa realitas sosial merupakan sebuah proses yang dinamis. Individu-individu berinteraksi melalui simbol, yang maknanya dihasilkan dari proses negosiasi yang terus-menerus oleh mereka yang terlibat dengan kepentingan masing-masing Makna suatu simbol bersifat dinamis dan variatif, tergantung pada perkembangan dan kepentingan individu, yang dibingkai oleh ruang dan waktu. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, individu diletakkan sebagai pelaku aktif, sehingga konsep mengenai diri (self) menjadi penting , Jakarta (30/12/20).
Dr Bayquni juga menambahkan bahwa konsep diri yang dikaitkan dengan emosi, nilai, keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan, serta pertimbangan masa lalu dan masa depan, turut mempengaruhi diri dalam pengambilan peran. Namun demikian, diri tidak terisolasi, sebab ia bertindak dalam kelompok individu. Diri tidak dapat memaknai suatu simbol tanpa adanya individu lain yang berperan sebagai cermin untuk melihat diri sendiri. Dalam kehidupan sosial, manusia menggunakan simbol untuk mempresentasikan maksud mereka, demikian juga sebaliknya.
“Proses penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial pada dasarnya adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia di sekeliling mereka. Individu memilih perilaku sebagai hal yang layak dilakukan, berdasarkan cara individu mendefinisikan situasi yang ada. Makna muncul karena ada interaksi antar individu, yang muncul dari hasil interpretasi pikiran manusia mengenai diri, serta hubungannya di dalam masyarakat. Pemahaman terhadap simbol harus dipahami bahwa simbol adalah objek sosial yang muncul dari hasil kesepakatan bersama dari individu-individu yang menggunakannya. Individu-individu tersebut memberi arti, menciptakan, dan mengubah objek di dalam interaksi. sosial tersebut dapat mewujud dalam bentuk objek fisik, bahasa, serta tindakan” ujar Dr Bayquni yang juga mantan aktivis 98 ini.
Dr Bayquni juga melanjutkan bahwa sebuah indikasi kuat bagaimana paham FPI yang mengarah pada intoleransi, kekerasan, dan terorisme berusaha untuk bertahan dengan substansi yang sama namun hanya dikemas dengan sedikit berbeda. Paham yang mengarah pada intoleransi, kekerasan, hingga terorisme tidak dapat kita biarkan melukai kebhinnekaan Indonesia yang harmonis dan dengan penuh toleransi. Kita sepatutnya waspada terhadap bentuk baru radikalisme yang termuat dalam Front Persatuan Islam demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kedaulatan tanah air.
Ditempat terpisah Anthony Danar dari Strategi Institute menyampaikan bahwa apabila Pembubaran FPI dianggap pengalihan issue justru hal ini terjadi sebagai respon terhadap ancaman pembangkangan dari FPI yang selalu menyalahkan dan menistakan pemerintah sekarang. FPI justru tendensius, sementara HTI tidak tendensius tapi maksud dan tujuannya terang benderang mengganti Pancasila dengan Khilafah. HTI pada waktu itu masih ormas yang berbadan hukum, makanya pembubarannya pakai keputusan Kemenkumham. Sementara FPI, tidak bisa dibubarkan dengan cara normatif, yakni dengan keputusan Kemenkumham karena tidak terdaftar Jakarta ( 30/12/20)
Anthony Danar juga menilai jika pentolan eks-FPI tetap menganggap SKB ini sebagai upaya menghalangi keadilan atau obstruction of justice, justu ini adalah pengalihan itu sendiri. Karena, MRS yang menjadi tersangka masih dalam proses. Pembelaan dan upaya hukum selalu tersedia bagi MRS, dan tidak dihalang-halangi. Yaitu, dia punya penasehat hukum, pengacara, dan upaya hukum lainnya seperti praperadilan yang juga sudah ditempuh sama mereka. Mereka hanya perlu sabar sedikit, bahwa proses itu sedang berjalan dan melibatkan berbagai stakeholder, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, bahkan proses di Mahkamah Agung.
Apabila ada tudingan eks-FPI bahwa SKB pelarangan dan pembubaran FPI melanggar Konstitusi Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, Pasal 24 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Putusan Mahkamah Konstitusi 82/PPU-XI/2013. Ini adalah sebuah kekelirian semata dalam memahami UU . Sebab Konstitusi menjamin ditegakkannya HAM berlaku dua arah. Pasal 28E vs pasal 28G (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Pasal 28I (2) Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Lalu dilanjutkan pada Pasal 28 (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. serta pada ayat (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Artinya SKB adalah bentuk arahan dari pemerintah agar masyarakat luas tidak tersesat dan terjebak dalam kegiatan ormas yang mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat dengan sikap intoleran dan menistakan pemerintahan yang sah tegas Anthony Danar yang juga mantan aktivis 98 dari FKSMJ.
Lantas berdasarkan referensi masa lalu, apakah keputusan Pemerintah membubarkan FPI adalah pelanggaran HAM? Itulah pertanyaan yang akan muncul sebab pembubaran sebuah organisasi massa, jika langkah itu harus ditempuh, untuk melindungi penegakan hukum sebagaimana mestinya (boleh dibaca: sweeping dll itu urusan aparat bukan ormas-red). Melindungi kebebasan warga negara lainnya untuk memilih keyakinannya sendiri. Maka justru itulah penegakan HAM yang sejati. (Red).